Gengs....
Kemanapun dan dimanapun anda, pasti tidak akan terlepas
mata kita dengan pasta gigi, setidaknya dua kali saat kita ke kamar mandi, kita
akan menangkap benda yang popular dengan nama “odol” tersebut. Namun tahukah
anda bahwa pasta gigi mengajarkan kita suatu perenungan?? Menurut Kurniawan
(2016) dalam artikelnya menuliskan bahwa pasta gigi dapat memberikan kita
pelajaran mengenai ideologi. Umum kita mengenali kelebihan sebuah pasta gigi
dari busanya yang berlimpah, yang menyebabkan kita menilai semakin banyak
busanya berarti semakin bagus kualitas pasta gigi tersebut. Setidaknya itu yang
tertanam dalam benak saya mengenai sebuah kelebihan pasta gigi, entah apakah
persepsi itu tertanam dari pembiasaan dan pengenalan yang dilakukan sedari
kecil, atau menyerap dari lingkungan sekitar, sama seperti ketika kita
berpersepsi bahwa sabun yang baik adalah yang memiliki busa berlimpah,
sebagaimana banyak iklan secara terang-terangan menyatakan demikian.
Untuk pasta gigi, setahu saya tidak ada memang yang
secara eksplisit menyampaikan bahwa busa pasta yang banyak merupakan kelebihan
pasta gigi mereka. Mungkin hal ini didasari pada pengetahuan pembuat pasta gigi
bahwa memang bukan pada sisi busanyalah fungsi sebuah pasta gigi terutama
dimiliki, tapi dari kandungan lainnya yang mampu menguatkan gigi atau membunuh
kuman. Jadi, fungsi busa di sini dapatlah disamakan dengan fungsi penggembira,
yang membuat seorang pengguna merasa yakin bahwa pasta gigi yang digunakannya
memiliki fungsi yang baik sesuai dengan kebutuhannya.
Namun belakangan, di luar jalur utama yang dianut para
pembuat pasta gigi, yang beberapa merupakan perusahaan multinasional yang
berbasis di luar negeri, terdapat sebuah produk pasta gigi lokal yang lebih
memilih untuk memasarkan pasta giginya tanpa busa yang berlimpah. Dan hebatnya,
pasta gigi tersebut mampu eksis di tengah gempuran pasta gigi arus utama, tanpa
bombardir iklan yang bertubi-tubi masuk lewat layar kaca. Lebih hebatnya lagi,
pasta gigi tersebut adalah buatan lokal, yang seperti saya pernah baca pada
sebuah berita di Kompas pada rubrik Sosok beberapa tahun yang lalu, pasta gigi
itu dibuat karena rasa penasaran seorang konsumen terhadap sakit gigi yang
dideritanya yang tak kunjung sembuh.
Si konsumen tersebut kemudian melakukan berbagai percobaan, yang
akhirnya menemukan sebuah formula yang cukup layak dan mampu dipasarkan secara
komersial. Metode yang digunakan cukup ekstrim berbeda dengan pasta gigi yang
ada, karena tidak menggunakan diterjen yang menimbulkan busa melimpah itu,
namun justru memanfaatkan enzim-enzim yang ada pada mulut untuk memacu
fungsinya secara optimal.
Berpikir mengenai pasta gigi tersebut membaca saya pada sebuah
perenungan, bahwa hidup memang sebuah pilihan. Ada banyak jalan yang dapat
dipilih, apakah jalan yang penuh gebyar dan wah, atau jalan sepi yang mungkin
tidak banyak orang menjalani, namun sebenarnya tidak kurang berarti. Pasta gigi
yang penuh busa tadi, mungkin serupa jalan hidup yang begitu wah, setiap orang
mungkin akan mengagumi dan iri melihatnya, namun soal fungsi mungkin si pasta
gigi yang memilih tanpa busa itu tidak dapat diremehkan begitu saja.
Dari sisi pencapaian, mungkin apa yang diperoleh pasta gigi tanpa busa
itu justru luar biasa, dengan modal, sumber daya manusia, peralatan, pemasaran
yang mungkin jauh lebih kecil dibandingkan si pasta gigi penuh busa yang
diproduksi perusahaan multinasional itu, toh dia tetap dapat eksis dan diterima
oleh berbagai pihak. Sesungguhnya, pilihan pasta gigi tanpa busa itu adalah
pilihan yang ideologis, karena hampir menafikan berbagai kelebihan yang disukai
masyarakat dengan budaya pop yang penuh gebyar ini, namun justru memilih jalan
sepi yang tidak banyak dilalui. Dan hebatnya lagi, mampu eksis dan tetap tegak
berdiri.
Dan belajar dari pasta gigi itu, mungkin kita pun bisa mengambil
inspirasi, bahwa tidak perlu penuh gebyar untuk berprestasi, jalan sepi dan
sunyipun bisa, asalkan kita sadar dan tahu, bahwa pilihan kita adalah pilihan
yang berideologi.
No comments:
Post a Comment