Sunday, September 10, 2017

Memang Kenapa Kalau Calon Istri Tidak Perawan?

Kekinian: Isu Tes Keperawanan Sebelum Menikah Muncul Lagi?

Apakah anda mengenal Hakim Binsar Gultom? Bila anda beberapa waktu mengikuti belasan persidangan kasus “kopi bersianida” dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, Ketua Majelis Hakim yang mengadili kasus pembunuhan kopi beracun tersebut sering menghiasi layar kaca TV anda. Namun tahukah anda Hakim Binsar Gultom memiliki usul menarik? Bila anda mengikuti isu terkini, hakim yang juga merupakan dosen sekolah pasca sarjana dibeberapa universitas itu menyebut usia dini dan ketidakperawanan (perempuan) sebagai penyebab tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian. Apa motif di balik pemikirannya yangt tertuang dalam buku "Pandangan Kritis Seorang Hakim" tersebut?
Buku Binsar Gultom didasarkan pengalaman mengadili 250-an kasus perceraian di pengadilan. Menurut Gultom, Undang-undang Perkawinan yang ada saat ini yakni UU Nomor 1 Tahun 1974, tidak lagi memadai sehingga harus direvisi. Materi pokok yang perlu ditinjau ulangan adalah terkait batasan usia perkawinan yakni 16 tahun perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Gultom mengusulkan agar batasan usia dinaikkan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Tidak cukup hanya dengan menaikkan usia, Gultom juga memiliki pandangan agar sebelum perkawinan dilakukan tes keperawan bagi perempuan. Sebab, menurut Gultom, keperawanan seringkali menjadi penyebab terjadi perceraian. Padahal perkawinan adalah janji suci kepada Tuhan dan juga didasarkan pada hukum negara sehingga perceraian, melanggar hukum negara juga hukum agama. Jika setelah diasakan tes ternyata calon mempelai perempuan sudah tidak perawan, maka, masih menurut Gultom, negara harus ikut campur dengan menunda perkawinan.
Logika manakalah yang dijadikan sandaran pemikiran Binsar Gultom?
Batas usia perkawinan, khusus untuk perempuan sudah sering disuarakan, terutama oleh aktivitis anak dan perempuan. Pemerintah pun sebenarnya sudah menyiapkan rancangan Perppu pengganti UU Perkawinan di mana batas usia pernikahan bagi perempuan dinaikkan menjadi minimal 18 tahun. Hanya saja sampai saat ini tidak ada kejelasan mengenai Perppu tersebut. Pro-kontra di dalamnya terlalu tajam karena menyinggung ranah agama, khusus Islam, yang tidak mengenal batasan usia perkawinan.
Batasan usia pernikahan dalam Islam didasarkan pada kedewasaan (akil baliq) yang ditandai dengan datangnya menstruasi pertama pada perempuan. Selain itu, ajaran Islam juga memerintahkan untuk mensegerakan pernikahan dengan tujuan menghindari perbuatan zinah dan pergaulan bebas. Dua kutub antara yang disuarakan aktivitis perempuan dengan kelompok yang mendasarkan pada dalil agama, sampai kapan pun tidak akan pernah mencapai titik temu. Tidak heran jika pemerintah sangat hati-hati memutus perkara sensitif ini.
Menjadikan usia dini perkawinan sebagai pemicu perceraian juga belum sepenuhnya sahih. Terlalu banyak bukti empirik langgengnya perkawinan yang dilakukan di bawah umur. Kultur masyarakat di pedesaan, termasuk di Jawa, masih menganggap anak gadisnya sudah "tua" manakala belum menikah di usia 17 tahun. Dengan menaikkan usia perkawinan bagi perempuan justru dapat memicu terjadinya ekses lain yang kontraproduktif, semisal pemalsuan usia.
Kedua, tes keperawanan. Malam pertama paling menyakitkan bagi laki-laki adalah ketika mendapati istrinya sudah tidak perawan. Bukan hanya dalam roman picisan, syair lagu dangdut atau film-film "kampungan" saja, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Bahkan Bupati Garut (saat itu) Aceng Fikri menceraikan istrinya, Fani Oktora, melalui SMS dengan alasan sudah tidak perawan. Demikian juga penyanyi Farid Harja.
Tetapi kasus-kasus tersebut bukan alasan untuk menjadikan keperawanan (perempuan) sebagai objek yang membutuhkan campur tangan negara. Keperawanan adalah ranah paling privat yang mestinya tidak diumbar. Coba bayangkan, manakala suatu pernikahan, yang sudah tersiar seluruh kampung, tiba-tiba dibatalkan karena si calon mempelai perempuan tidak lagi perawan. Tudingan miring pasti akan diterima pihak perempuan, padahal belum tentu ketidakperawanannya diakibatkan oleh suatu perbuatan tercela. Ada banyak kasus di mana perempuan kehilangan keperawanannya karena hal-hal sepele seperti terjatuh, olahraga atau hal lainnya, mengingat tipisnya hymen atau selaput dara.
Untuk itu, jangan selalu kaitkan keperawanan perempuan dengan norma-norma masyarakat, apalagi stigma buruk. Persoalan ini lebih urgen dibanding tes keperawanan. Bahwa perempuan wajib menjaga ahlaq dan moralnya, itu pasti. Tetapi apakah hal itu akan memperbaiki keadaan jika hanya diberlakukan, dibebankan, pada satu pihak? Jangan jadikan budaya patriakhi sebagai alas pembenar "mengadili" perempuan hingga ke ranah paling privat.
Ketiga, sudah bukan waktunya lagi negara memasuki ranah privat warganya. Negara harus mengakomodir kearifan budaya lokal, dan tentunya agama, yang dianut, diyakini, oleh warga bangsa. Jangan memaksakan aturan negara untuk sesuatu yang tidak ada korelasinya dengan kepentingan umum.
Menunda perkawinan hanya karena si perempuan tidak perawan bukan lontaran pemikiran bijak, melainkan cermin nafsu superioritas laki-laki atas tubuh perempuan. Hakim Gultom mestinya menggali lebih dalam lagi sebelum sampai pada kesimpulan bahwa keperawanan sebagai faktor utama perceraian. 250-an kasus perceraian yang ditangani, tidak bisa dijadikan dasar pembenar karena masih ada faktor lain sebagai penyebab perceraian termasuk faktor ekonomi dan kebejatan moral laki-laki.
Jika dilontarkan pertanyaan seperti judul di atas, percayalah, lebih dari 50 persen laki-laki akan menjawab mau dan hanya segelintir yang menolaknya dengan alasan yang dicari-cari. Laki-laki yang mau menerima istrinya sudah tidak perawan bukan berarti melegalkan, membenarkan (mungkin) perbuatan buruk masa lalu istrinya, tetapi karena memandang perkawinan adalah janji suci dua hati untuk bersama-sama mengarungi kehidupan dalam suka maupun duka, bukan semata kepentingan alat kelamin. Ada tujuan lain yang lebih mulia dan mungkin itu yang terlupakan oleh hakim Binsar Gultom.


Read More

Tentang sebuah Pasta Gigi

Gengs....
Kemanapun dan dimanapun anda, pasti tidak akan terlepas mata kita dengan pasta gigi, setidaknya dua kali saat kita ke kamar mandi, kita akan menangkap benda yang popular dengan nama “odol” tersebut. Namun tahukah anda bahwa pasta gigi mengajarkan kita suatu perenungan?? Menurut Kurniawan (2016) dalam artikelnya menuliskan bahwa pasta gigi dapat memberikan kita pelajaran mengenai ideologi. Umum kita mengenali kelebihan sebuah pasta gigi dari busanya yang berlimpah, yang menyebabkan kita menilai semakin banyak busanya berarti semakin bagus kualitas pasta gigi tersebut. Setidaknya itu yang tertanam dalam benak saya mengenai sebuah kelebihan pasta gigi, entah apakah persepsi itu tertanam dari pembiasaan dan pengenalan yang dilakukan sedari kecil, atau menyerap dari lingkungan sekitar, sama seperti ketika kita berpersepsi bahwa sabun yang baik adalah yang memiliki busa berlimpah, sebagaimana banyak iklan secara terang-terangan menyatakan demikian.
Untuk pasta gigi, setahu saya tidak ada memang yang secara eksplisit menyampaikan bahwa busa pasta yang banyak merupakan kelebihan pasta gigi mereka. Mungkin hal ini didasari pada pengetahuan pembuat pasta gigi bahwa memang bukan pada sisi busanyalah fungsi sebuah pasta gigi terutama dimiliki, tapi dari kandungan lainnya yang mampu menguatkan gigi atau membunuh kuman. Jadi, fungsi busa di sini dapatlah disamakan dengan fungsi penggembira, yang membuat seorang pengguna merasa yakin bahwa pasta gigi yang digunakannya memiliki fungsi yang baik sesuai dengan kebutuhannya.
Namun belakangan, di luar jalur utama yang dianut para pembuat pasta gigi, yang beberapa merupakan perusahaan multinasional yang berbasis di luar negeri, terdapat sebuah produk pasta gigi lokal yang lebih memilih untuk memasarkan pasta giginya tanpa busa yang berlimpah. Dan hebatnya, pasta gigi tersebut mampu eksis di tengah gempuran pasta gigi arus utama, tanpa bombardir iklan yang bertubi-tubi masuk lewat layar kaca. Lebih hebatnya lagi, pasta gigi tersebut adalah buatan lokal, yang seperti saya pernah baca pada sebuah berita di Kompas pada rubrik Sosok beberapa tahun yang lalu, pasta gigi itu dibuat karena rasa penasaran seorang konsumen terhadap sakit gigi yang dideritanya yang tak kunjung sembuh.
Si konsumen tersebut kemudian melakukan berbagai percobaan, yang akhirnya menemukan sebuah formula yang cukup layak dan mampu dipasarkan secara komersial. Metode yang digunakan cukup ekstrim berbeda dengan pasta gigi yang ada, karena tidak menggunakan diterjen yang menimbulkan busa melimpah itu, namun justru memanfaatkan enzim-enzim yang ada pada mulut untuk memacu fungsinya secara optimal.
Berpikir mengenai pasta gigi tersebut membaca saya pada sebuah perenungan, bahwa hidup memang sebuah pilihan. Ada banyak jalan yang dapat dipilih, apakah jalan yang penuh gebyar dan wah, atau jalan sepi yang mungkin tidak banyak orang menjalani, namun sebenarnya tidak kurang berarti. Pasta gigi yang penuh busa tadi, mungkin serupa jalan hidup yang begitu wah, setiap orang mungkin akan mengagumi dan iri melihatnya, namun soal fungsi mungkin si pasta gigi yang memilih tanpa busa itu tidak dapat diremehkan begitu saja.
Dari sisi pencapaian, mungkin apa yang diperoleh pasta gigi tanpa busa itu justru luar biasa, dengan modal, sumber daya manusia, peralatan, pemasaran yang mungkin jauh lebih kecil dibandingkan si pasta gigi penuh busa yang diproduksi perusahaan multinasional itu, toh dia tetap dapat eksis dan diterima oleh berbagai pihak. Sesungguhnya, pilihan pasta gigi tanpa busa itu adalah pilihan yang ideologis, karena hampir menafikan berbagai kelebihan yang disukai masyarakat dengan budaya pop yang penuh gebyar ini, namun justru memilih jalan sepi yang tidak banyak dilalui. Dan hebatnya lagi, mampu eksis dan tetap tegak berdiri.
Dan belajar dari pasta gigi itu, mungkin kita pun bisa mengambil inspirasi, bahwa tidak perlu penuh gebyar untuk berprestasi, jalan sepi dan sunyipun bisa, asalkan kita sadar dan tahu, bahwa pilihan kita adalah pilihan yang berideologi.


Read More

Wednesday, September 6, 2017

Bye - Bye Komentar Spam!!!

Saya cukup terganggu dengan komentar2 spam selama ini. Selain tidak bermanfaat dan sangat mengganggu, komentar spam tersebut sering menenggelamkan komentar-komentar pembaca yang benar-benar ingin berkomentar atau sekedar menanyakan sesuatu hal, sehingga adanya banyak komentar sampah membuat saya kurang jeli terhadap komentar pembaca asli. Saya kasih contoh komentar2 spam yang selama ini "menyampahi" blog saya hehe. Seperti ini:

Wah kami Sangat Senang Bisa Menemukan Artikel Sebagus Ini Dan Sangat Bermanfaat Sekali, Kami Menunggu Artikel Berikutnya Yah Gan. Agen Togel Prediksi Togel 

atau kaya gini:

Thanks infonya gann . Menginspirasi Yah Gan. Game Online Internasional

Atau Tentang Info-info pesugihan :) :D :D :)

Yang pastinya komentar2 tersebut di posting dalam jumlah banyak dan bisa sampai ratusan. Nah maka dari itu saya mensetting moderasi komentar. Maksudnya menyaring komentar yang masuk dengan melalui persetujuan penulis yang masuk dulu ke inbox email. Tujuannya yaitu mencegah komentar-komentar spam yang sangat mengganggu mata hehe

Nah barangkali ada yang ingin tahu cara memodrasi komentar, berikut cara simplenya:

Bagi Anda yang masih ingin menyaring komentar-komentar di Blog Anda (Misal komentar bermanfaat dan membangun), Anda bisa mengikuti cara yang sangat mudah ini.

Anda cukup pergi ke tab Setelan | Komentar. Setelan tersebut hanya berupa opsi ya/tidak. Dengan memilih "ya" untuk opsi ini, Anda akan diberi ruang untuk memasukkan alamat email dan selanjutnya Anda dapat memoderasi komentar melalui email. Perhatikan bahwa apa pun setelan yang Anda pilih, Anda dapat selalu memoderasi komentar melalui Blogger.

Semua komentar yang masuk akan disimpan di halaman "Menunggu Moderasi", Anda bisa menemukannya pada tab Komentar. Pada halaman ini, Anda akan melihat daftar semua komentar yang telah dikirimkan ke Blog Anda tetapi belum Anda setujui atau tolak. Daftar ini tidak termasuk komentar yang dibuat oleh anggota admin blog.

Setiap baris di daftar tersebut menampilkan bagian awal komentar, nama penulis, dan waktu pembuatannya. Anda bisa mengeklik kotak di samping komentar dan memutuskan apakah ingin memublikasikan komentar tersebut, menghapusnya, atau menandainya sebagai spam.

Keseluruhan proses ini juga dapat dilakukan melalui email Anda. Jika Anda memasukkan alamat email untuk moderasi, Anda akan mendapatkan pesan untuk setiap komentar masuk yang berisi tautan "Publikasikan" dan "Tolak", serta link ke halaman moderasi utama di blog Anda.


Read More

Antara Qurban Hewan dan Qurban Manusia

Thing that is more crucial than sacrificing animals on Ied-Adha
I got a petition from a forum i joined condemning animal sacrifice practices during Ied Adha time. Briefly, they advocated like “it’s so savage when it comes to animal sacrifices during religious occasions. Most of these animal sacrifices take place in open areas near religious places watched even by children. The animals are killed by untrained persons causing much pain to them. Moreover, other animals also watch it causing trauma to them.”
Well there is always much agreement and disagreement as to whether animals have right and I am not bother with whatever they reason. But often people even my friends in other side of the world ask if animals should have rights and quite simply my answer is yes! Animals surely deserve to live their lives free from suffering and exploitation. While it may sound logical for people wanting animals such as farm animals to have rights, animal rights extend much further than that and the concept of rights that people advocate for animals, doesn’t be on the same boat. A right as the theory suggests, is made by a moral agent under principles that govern both the claimant and the target of the claim. The idea of animal rights however, strives to make all animals have the same legal standing under the law of human being. If so, this would mean that mosquitoes, spiders, or fish for instance, would be on the same legal standing as human in which human can be charged with manslaughter under the idea of animal right, yet in fact, no one brings lions to trial for murder when they kill a wildebeest, noone reasonably expects a tiger to feel guilty for devouring a zebra and a cat regrets for toying with a mouse. As absurd as these examples may sound, giving them rights doesn’t mean giving them the same or equal rights as human. Equality doesn’t require identical or equal treatment. It fulfills what is need not what is wanted and human have duties to treat animal in the good ways, look after them, that’s what so called rights for animal.
While people are often seen wearing wool, leather, and eating McDonald’s burgers, the issue on animal sacrifice has no ending and is harder to answer because it’s more subjective. The opponents keep pointing and asking why the practice of animal sacrifices is justified in the name of God during certain religious celebration, say Ied Adha. I don’t see the point of asking this as an Islam-specific question. Animal sacrifice as far as i am concern, to various deities has been around since the beginning of religion, and it exists even in sects in Hinduism and Sikhism and that similar discourse is also circulated around other celebrations carrying out mass animal slaughtering such as turkeys for Thanksgiving or chickens in the days leading up to Yom Kippur. This is to imply in accordance with one of the holy books stating that animals were put on earth to serve human beings. 
Unless you are vegan and forbid the killing of animals for all purposes, I find the outcry about religious sacrifice awkward and hypocritical. Around million animals are slaughtered every month for meat: cows, pigs, goats, chicken, rabbits, and you can presume which cattle with high number get slaughtered every month for food. If you wouldn’t eat beef why eat dog? If you wouldn’t eat dog why eat pig? Dogs, cows, chickens, pigs, have the same capacity to feel pain but it is prejudice based on species to think of animal as a companion and the other as dinner. Meat is good food and if religious sacrifice allows to donate of meat to the poor and the needy, why create a fuss about it? I remember when I was kid, eating meat is the prestigious thing for my fam for we did not enjoy the meat anytime we wanted. I wasn’t raised in an affluent family and when and that Tasrik moment (3 days after Ied) was probably one of the most awaited day for me and the other needy people hoping someone carrying bags of meat knocked my door. Once I got it, I was like the most fortune person in the world.
While seeing this issue furthermore in current context, where muslims slaughter the animals, enjoy eating meat in Tasrik days happily with their belong family, and the outrages’ opponents for the animals’ blood that spill, we forget that in Myanmar, an ethnic are being slaughtered tracing a question to be brought up as the alteration for the previous status quo, of whether the human are worthless than an animal and we wonder if human are justified to slaughter other human race as well as wondering why the opponents are keeping in silence. Inspired by Miss Ira' thought at the previous post.

Read More

Saturday, September 2, 2017

My random thought: Ied Adha

A petition comes to my mail this noon and the issue briefly advocates:
 "The law cannot be given a go by when it comes to animal sacrifices during religious occasions. Most of these animal sacrifices take place in open areas near religious places watched even by children. The animals are killed by untrained persons causing much pain to them. Moreover, other animals also watch it causing trauma to them," 

(Picture 1. A kid is giving a bag of meat to the needy)
Well, there is always an outcry from international communities regarding religion and animal sacrifice. While some of them are understandable, I personally don’t have any problems with muslims’ sacrificing animals during Eid Adha as its purpose is to feed the poor and the hungry. When doing community service, I stayed in a remote area for two months where people’s lives were very basic. Some of them could hardly afford foods. We set a program where we invited local kids to our camp to learn basic things like music and crafts. I would make little treats like jello packs and even just those small things brought out their ebullience. One of the kids went home and told the parents about how happy she was spending time with us and the parent managed to show their gratitude by giving us a piece of cassava that she took from the wood saying ‘I don’t have much but I really wanna give you something’. I learn that those people, out of all the limitations they have, own really big hearts.

For those very people, meat is a delicacy. They don’t get to enjoy it any time they want. And this would be one of the moments allowing it to be served on their worn out table clothes. However, to me Eid Adha should be celebrated in a certain manner. For those who are fortunate enough to contribute should use this moment, not to celebrate, but to contemplate.. While the animal sacrifice symbolizes people’s willing to detach themselves from their fortune and wealth by sharing it and giving it away (not merely to please God), people should be ashamed knowing that these animals are losing their lives so human have a chance to repent for their wrongdoings.


It’s true that it’s not the animal’ sacrifices that cause our sin to be forgiven, but our creed, our good deeds, and Taqwa to Allah (which one of it is by obeying Allah Commads to sacrificing animals).


#Selamat Idul Adha

Read More

Social Share Icons

Blogroll

About