Kekinian: Isu Tes Keperawanan Sebelum Menikah Muncul Lagi?
Apakah anda
mengenal Hakim Binsar Gultom? Bila anda beberapa waktu mengikuti belasan
persidangan kasus “kopi bersianida” dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, Ketua
Majelis Hakim yang mengadili kasus pembunuhan kopi beracun tersebut sering
menghiasi layar kaca TV anda. Namun tahukah anda Hakim Binsar Gultom memiliki
usul menarik? Bila anda mengikuti isu terkini, hakim yang juga merupakan dosen
sekolah pasca sarjana dibeberapa universitas itu menyebut usia dini dan
ketidakperawanan (perempuan) sebagai penyebab tingginya angka kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dan perceraian. Apa motif di balik pemikirannya yangt
tertuang dalam buku "Pandangan Kritis Seorang Hakim" tersebut?
Buku Binsar Gultom
didasarkan pengalaman mengadili 250-an kasus perceraian di pengadilan. Menurut
Gultom, Undang-undang Perkawinan yang ada saat ini yakni UU Nomor 1 Tahun 1974,
tidak lagi memadai sehingga harus direvisi. Materi pokok yang perlu ditinjau
ulangan adalah terkait batasan usia perkawinan yakni 16 tahun perempuan dan 18
tahun bagi laki-laki. Gultom mengusulkan agar batasan usia dinaikkan menjadi 19
tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Tidak cukup hanya dengan
menaikkan usia, Gultom juga memiliki pandangan agar sebelum perkawinan
dilakukan tes keperawan bagi perempuan. Sebab, menurut Gultom, keperawanan
seringkali menjadi penyebab terjadi perceraian. Padahal perkawinan adalah janji
suci kepada Tuhan dan juga didasarkan pada hukum negara sehingga perceraian,
melanggar hukum negara juga hukum agama. Jika setelah diasakan tes ternyata calon
mempelai perempuan sudah tidak perawan, maka, masih menurut Gultom, negara
harus ikut campur dengan menunda perkawinan.
Logika manakalah yang
dijadikan sandaran pemikiran Binsar Gultom?
Batas usia perkawinan,
khusus untuk perempuan sudah sering disuarakan, terutama oleh aktivitis anak
dan perempuan. Pemerintah pun sebenarnya sudah menyiapkan rancangan Perppu
pengganti UU Perkawinan di mana batas usia pernikahan bagi perempuan dinaikkan
menjadi minimal 18 tahun. Hanya saja sampai saat ini tidak ada kejelasan
mengenai Perppu tersebut. Pro-kontra di dalamnya terlalu tajam karena
menyinggung ranah agama, khusus Islam, yang tidak mengenal batasan usia
perkawinan.
Batasan usia pernikahan
dalam Islam didasarkan pada kedewasaan (akil baliq) yang ditandai dengan datangnya
menstruasi pertama pada perempuan. Selain itu, ajaran Islam juga memerintahkan
untuk mensegerakan pernikahan dengan tujuan menghindari perbuatan zinah dan
pergaulan bebas. Dua kutub antara yang disuarakan aktivitis perempuan dengan
kelompok yang mendasarkan pada dalil agama, sampai kapan pun tidak akan pernah
mencapai titik temu. Tidak heran jika pemerintah sangat hati-hati memutus
perkara sensitif ini.
Menjadikan usia dini
perkawinan sebagai pemicu perceraian juga belum sepenuhnya sahih. Terlalu banyak
bukti empirik langgengnya perkawinan yang dilakukan di bawah umur. Kultur
masyarakat di pedesaan, termasuk di Jawa, masih menganggap anak gadisnya sudah
"tua" manakala belum menikah di usia 17 tahun. Dengan menaikkan usia
perkawinan bagi perempuan justru dapat memicu terjadinya ekses lain yang
kontraproduktif, semisal pemalsuan usia.
Kedua, tes keperawanan.
Malam pertama paling menyakitkan bagi laki-laki adalah ketika mendapati
istrinya sudah tidak perawan. Bukan hanya dalam roman picisan, syair lagu dangdut
atau film-film "kampungan" saja, tetapi juga dalam kehidupan nyata.
Bahkan Bupati Garut (saat itu) Aceng Fikri menceraikan istrinya, Fani Oktora,
melalui SMS dengan alasan sudah tidak perawan. Demikian juga penyanyi Farid
Harja.
Tetapi kasus-kasus tersebut
bukan alasan untuk menjadikan keperawanan (perempuan) sebagai objek yang
membutuhkan campur tangan negara. Keperawanan adalah ranah paling privat yang
mestinya tidak diumbar. Coba bayangkan, manakala suatu pernikahan, yang sudah
tersiar seluruh kampung, tiba-tiba dibatalkan karena si calon mempelai
perempuan tidak lagi perawan. Tudingan miring pasti akan diterima pihak
perempuan, padahal belum tentu ketidakperawanannya diakibatkan oleh suatu
perbuatan tercela. Ada banyak kasus di mana perempuan kehilangan keperawanannya
karena hal-hal sepele seperti terjatuh, olahraga atau hal lainnya, mengingat tipisnya hymen atau selaput dara.
Untuk itu, jangan selalu
kaitkan keperawanan perempuan dengan norma-norma masyarakat, apalagi stigma
buruk. Persoalan ini lebih urgen dibanding tes keperawanan. Bahwa perempuan
wajib menjaga ahlaq dan moralnya, itu pasti. Tetapi apakah hal itu akan memperbaiki
keadaan jika hanya diberlakukan, dibebankan, pada satu pihak? Jangan jadikan
budaya patriakhi sebagai alas pembenar "mengadili" perempuan hingga
ke ranah paling privat.
Ketiga, sudah bukan
waktunya lagi negara memasuki ranah privat warganya. Negara harus mengakomodir
kearifan budaya lokal, dan tentunya agama, yang dianut, diyakini, oleh warga
bangsa. Jangan memaksakan aturan negara untuk sesuatu yang tidak ada
korelasinya dengan kepentingan umum.
Menunda perkawinan hanya
karena si perempuan tidak perawan bukan lontaran pemikiran bijak, melainkan
cermin nafsu superioritas laki-laki atas tubuh perempuan. Hakim Gultom mestinya
menggali lebih dalam lagi sebelum sampai pada kesimpulan bahwa keperawanan
sebagai faktor utama perceraian. 250-an kasus perceraian yang ditangani, tidak
bisa dijadikan dasar pembenar karena masih ada faktor lain sebagai penyebab
perceraian termasuk faktor ekonomi dan kebejatan moral laki-laki.
Jika dilontarkan pertanyaan
seperti judul di atas, percayalah, lebih dari 50 persen laki-laki akan menjawab
mau dan hanya segelintir yang menolaknya dengan alasan yang dicari-cari.
Laki-laki yang mau menerima istrinya sudah tidak perawan bukan berarti
melegalkan, membenarkan (mungkin) perbuatan buruk masa lalu istrinya, tetapi
karena memandang perkawinan adalah janji suci dua hati untuk bersama-sama
mengarungi kehidupan dalam suka maupun duka, bukan semata kepentingan alat
kelamin. Ada tujuan lain yang lebih mulia dan mungkin itu yang terlupakan oleh
hakim Binsar Gultom.