Tadi siang
didekat mesjid Al-Furqon UPI, saya bertemu dengan kenalan lama. Ia sudah semester 10 sekarang. Sudah satu
tahun tidak bertemu dan sekarang saya lihat dia sudah berjenggot tebal haha
(tapi meski berjenggot tenang saja, bukan anggota ISIS kok hehe)
“Hei ri, gimana
kabarmu? Semester berapa sekarang?” sapanya..
“Alhamdulillah
baik bang, baru semester 4, mau ke 5.”
“Wah cepet juga
ya ri, ga kerasa, dulu saya lihat kamu masih pake celana abu-abu” celotehnya
sambil sedikit tertawa..
“Iya..alhamdulillah”
jawabku mengiyakan sambil pura-pura tersenyum.
***
Lha kok
pura-pura tersenyum? Ya sebetulnya engga pura-pura juga sih. Saya sekedar
mendiktekan bahwa hal seperti ini memang bukanlah perkara aneh. Bertemu dengan
seseorang yang sudah lama tidak berjumpa akan terasa pangling dengan perubahan
atau hasil yang ada. Namun apabila melihat ke prosesnya, wah pasti aja sebundel
kisah suka maupun dukanya. Seperti saya sekarang ini, mungkin orang akan
mengatakan “wah ga kerasa ya kamu cepat sekali sudah semester sekian.....dst”,
tapi saya sebagai orang yang menjalaninya, merasa empat semester ini terasa
delapan semester. Bagaimana bisa?
Yeah secara administratif, saya
sudah dua tahun menuntut ilmu (ilmu kok dituntut? :D) di kampus yang terkenal
dengan kampus perjuangan bumi siliwnangi ini. Universitas Pendidikan Indonesia,
atau ironinya lebih populer dengan nama IKIP
Bandung. Saya juga kadang kalau ada yang nanya, eh lu dimana kuliah? Sering saya jawab di IKIP Bandung. Dan setelah itu perbincangan menjadi senyap..Haha apaansi.. UPI, salahsatu kampus
negeri di Indonesia yang katanya terkenal nomor wahid dalam bidang
pendidikannya. Allright I affirm that, but I am not in favour for another
fields. Lha jadi kesini,, hmm oke yang
ingin saya ceritakan disini adalah perjuangan saya selama dua tahun di kampus
ini. Saya merupakan salahsatu mahasiswa di fakultas bahasa. Berkecimpung
didunia kebahasaan, tidak semerta-merta membuat saya nyaman. Jujur, selama
menjalani perkuliaahan ini, baik fisik maupun batin merasa tertekan. Saya
sebenarnya tidak terlalu minat didalam ilmu kebahasaan atau linguistik. Hal itu
terbukti dengan hasil psikotes saya yang tidak menunjukan adanya kelebihan di
bidang kebahasaan. Malahan skor tertinggi berada di bidang Sains. Hmm, jujur
sih sejak SMA saya sangat suka dengan sains apalagi fisika dan astronomi, wah
rasanya indah sekali mempelajarinya, sampai-sampai waktu itu lumayan sering berpartisipasi di
Olimpiade Sains Nasional (OSN). Tapi entah mengapa, saat ikut ujian seleksi
masuk perguruan tinggi, saya memilih jurusan bahasa disalahsatu pilihan saya.
Dan ... mungkin sudah jalannya, saya diterima di salah satu jurusan di fakultas
bahasa. Oke pada waktu itu saya merasa tertantang, namun setelah beberapa bulan
diperkuliahan, hmm tidak semanis capucino cincau yang dijual disepanjang jalan
geger kalong. Mungkin masalah gadang ngegarap tugas, semua mahasiswa mungkin
pernah mengalaminya. Bukan itu sih yang menjadi tekanan. Bukan pula ruangan
kelas yang sering berada dilantai paling atas gedung FPBS yang membuat saya
kumat dari phobia ketinggian. Juga bukan pulalah karena kantin ‘yahudi’
(begitulah anak-anak FPBS menyebut kantin yang berlokasi di basemen gedung yang
terkenal dengan harga jajanannya yang selangit). Tapi tekanan terberatku ialah
diri saya sendiri. Saya bukanlah orang yang pandai dalam ilmu kebahasaan.
Jangankan berbicara pakai bahasa asing, berbicara didepan umum pakai bahasa
Indonesia yang notabene bahasa ibu saja terkadang terbata-bata. Sering saya
mengalami antara apa yang saya pikirkan dengan hasil yang diucapkan tidak
sinkron. Itu mungkin salahsatu yang membuat saya underpressure. Terlebih lagi,
dijurusan saya masih terkenal dengan jurusan nasakom (nasib satu koma), artinya
bukan tidak mungkin mahasiswanya memperoleh IP atau IPK satu koma lima.. Hmm..
Iya gitu? Entah lah, yang jelas yang saya rasakan sendiri, mendapatkan nilai B
saja sangat susah. Sangat berbeda dengan jurusan lain dimana teman-teman saya
yang santai-santai saja pun sangat begitu gampang memperoleh nilai A. Sedang dijurusan
saya meskipun rajin masuk, berusaha murah senyum didepan dosen, tugas lengkap
dan kumpul tepat waktu, ujian pun terisi penuh, masih saja mendapat nilai D.
Nilai D loh.. bukan B ataupun A. can you imagine how jerk it is/ Sudah
cape-cape belajar 6 bulan, buang uang buat print tugas, gadang tiap ngegarap
tugas, eh hasil akhirnya tetap dosen yang menentukan. D. Ya, D dengan mutu 1
dan kalau 2sks menjadi 1x2= 2, kadang paling banter dapat C+ (C+ sudah seperti
pemrograman komputer saja ya) The courses are always demanding. Jadi dijurusan
ini yang dinilai memang benar-benar kemampuan kita, nomatter how famous you are
in the campus, nomatter you are the president of students’ association or not,
no matter who you are,, kalo misalnya jelek ya jelek. Banyak yang mengatakan mungkin
karena 95% dosennya lulusan luar negeri. Hmm tapi saya sendiri, sudah terlanjur
disini, the show must go on,. Saya dengan keterbatasan, terus berjuang, biarlah
Allah yang menetukan hasilnya, yang penting sudah berusaha. Saya juga yakin,
bila bersungguh-sungguh dosen pun tidak akan semerta-merta memberi nilai yang
tidak sesuai dengan kemampuan kita (meskipun apa beberapa yang sering ngasih
nilainya engga jelas huehe). Dan setelah berjuang, alhamdulillah di tingkat
satu hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Memperoleh indeks prestasi (IP) yang
nyaris 4,0 membuat saya kaget. Ya gimana tidak kaget, saya sangat tertinggal
sekali dalam hal kebahasaan, dan teman2 laki-laki lainnya berada di sekitaran
3,2.. Namun hal ini saya anggap sebagai hal yang tidak perlu dilebih-lebihkan,
maksudnya dibuat sebagai ajang untuk aktualisasi diri, karena hakikatnya output
tidak akan selamanya sama. Bisa naik, bisa juga turun, tergantung dari ihtiar
kita. Ini menyangkut dengan hakikat hidup kita didunia ini (sok bijak banget sih haha..).
Namun memang, berbicara masalah hakekat
hidup sebenarnya membutuhkan rincian yang sangat panjang dan terinci. Namun
secara ringkas, hakikat hidup bisa terungkap dari pernyataan Ali bin Abi
Thalib. Menurutnya, awal kehidupan adalah tangisan, pertengahannya adalah ujian
dan ujungnya adalah kefanaan. Ketika anda lahir anda menangis, dan tangisan itu
akan menjadi warna kehidupan. Saat anda sedih dan juga bahagia terkadang
ditandai dengan tangisan. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. (QS. 57:20)
Ada sesuatu yang kita akam
dimiliki secara abadi sampai di akherat. dan juga yang hanya didunai ini. Maka
jadikan dunia ini sebagai sarana dan mencari bekal untuk masuk ke alam
selanjutnya. Karena alam yang akan dilalui manusia hanyalah one way, satu
tiket. Alias tidak bisa balik lagi. Waspadalah, berhati-hati,
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan beramal ketika didunia ini. Karena dunia,
hanya dilalui sekali saja.
No comments:
Post a Comment