Die Weltgeschichte ist auch die Summe dessen, was
vermeidbar gewsen ware. Wir mussen uns wirklich ins Zeug legen. Willkomen in
der Wuste der Wirklichkeit.
Sebut saja Ujang. Ujang, ialah sebuatan bagi
setiap anak laki-laki yang terlahir di suku Sunda. Terlahir dari sebuah
keluarga yang sangat sederhana membuat Ujang menempuh belajar di sebuah Sekolah
Dasar di sudut kampung. Di saat itu tidak terlalu banyak jejak-jejak prestasi
yang terukir di sekolah itu bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hanya peringkat
lima dikelaslah yang kala itu dapat diraih oleh seorang Ujang. Pada saat itu
orang-orang yang mendapatkan peringkat pertama sampai ketiga akan naik keatas
podium untuk menerima penghargaan pada saat acara kenaikan kelas. Tak ada
motivasi yang terlontar dari keluarganya. Ketidakpekaan mereka akan pentingnya
pendidikan. Membuat mereka berasumsi
bahwa percuma sekolah tinggi-tinggi toh presiden pun sudah ada.
Kakak-kakaknya pun rata-rata hanya
lulusan SMP. Memang, pada saat itu teori “pilih kasih” di sekolahnya masih
berlaku, dimana hanya orang-orang yang tabungannya banyak di kelas dan orang
tua yang menyumbang dana besar untuk sekolah lah yang biasanya menjadi
langganan podium kenaikan kelas. Pada kedua matanya tidak tampak sebuah tujuan
yang hendak ia tuju. Ia kurang peduli terhadap minat pendidikannya sehingga ia
bisa dikatakan siswa yang bodoh, yang selalu menjadi perbandingan para wagga
kampung itu, karena kebanyakan anak-anak mereka tak jarang menjadi langganan
podium tahunan itu.. Yang Ujang kuasai pada saat itu hanyalah bacaan shalat dan
tilawah Al-Quran yang justru anak-anak lain belum bisa melakukannya pada saat
itu.
Namun mind
set Ujang kala itu berubah disaat ibunya meninggalkannya untuk bekerja di
negeri sebrang. Ibunya pergi meninggalkannya semata-mata dengan tujuan untuk
menggapai kehidupan yang lebiah baik untuk keluarganya. Ayah Ujang yang
merupakan seorang kuli batu alam di lembah Gunung Merapi tidak terlalu
berkontribusi banyak terhadap perekonomian keluarga. Bahkan hanya untuk membuat
kendi terisi beras pun sangat sulit. Tak jarang ia telat mengirim uang untuk
keluarga Ujang. Karena itulah ibunya pergi mengadu nasib ke negeri sebrang
tanpa memikirkan konsekwensi yang akan ia hadapi.
Ujang dititipkan ke ua-nya (pamannya) yang
rumahnya masih satu desa. Ada raut kesedihan yang tampak di wajah Ujang tatkala
ia melepaskan ciuman tangan ibunya yang hendak berangkat. Tidak memerlukan
waktu yang bagi Ujang untuk bisa menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Dikala
itu ia masih duduk dibangku kelas enam SD. Ia pun mulai berpikir akan nasibnya.
Ia mulai mendekati buku-buku dan mulai membacanya. Setiap hari tak sedikit
waktu yang ia habiskan untuk membaca buku dan mempelajari berbagai macam buku entah itu buku pelajaran
maupun buku-buku pengetahuan umum. Ia juga mulai mencoba menyukai mata
pelajaran matematika dan Bahasa Inggis, yang selama itu menjadi kelemahannya .
untuk menambah wawasan pengetahuannya ia juga membaca koran yang ia pungut dari
tong sampah sekolahnya. Watak pamannya yang keras dan cekatan membuat ujang
sigap dalam berbagai hal, baik itu dalam bekerja, belajar maupun beribadah.
Pamannya yang merupakan seorang petani mendidiknya agar belajar prihatin dan
tidak leha-leha. Ia pun sering menyuruh ujang untuk bekerja yang jarang
dilakukan oleh anak seusiannya, seperti mencangkul disawah, menggotong padi
sekarung penuh dari sawah yang jaraknya tidak dekat, mengambil batu dari sungai
untik diangkut ke pinggir jalan, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi suatu
didikan namun sayang, sama halnya dengan keluarganya, pamannya pun tidak
terlalun peka akan pendidikan. Ia kurang
menyukai pada saat Ujang menghabiskan banyak waktunya untuk belajar.
“Ujang.. lagi ngapain kamu dikamar terus,,, ayo
bantuin paman nyangkul disawah”
ujar pamannya tatkala ujang sedang belajar. Yang pamannya harapkan ialah bekerja, bekerja,
dan bekerja. Ia juga jarang diberi uang
jajan dan tak jarang ia hanya menelan ludah pada saat melihat teman-temannya
jajan di kantin. Ia lebih memilih puasa karena selain menghemat, ia juga
percaya akan adanya mukjizat hebat dibalik puasannya. Meskipun diperlakukan seperti oleh pamannya,
Ujang tetap besabar karena ia sadar diri bahwa ia hanya menumpang hidup di
rumah pamannya. Setiap malam ia terjaga, mengambil air wudhu dan menyempatkan
shalat malam meskipun hanya dua rakaat. Ia berdoa kepada tuhan agar diberikan
hasil yang terbaik dalam segala urusan hidupnya.
Dan doa Ujang pun dikabulkan. Hasil kerja
kerasnya mulai membuahkan hasil. Ia masuk peringkat 2 pararel pada saat ia
duduk di semester 1 SMP. Hal yang sangat menakjubkan baginya karena lingkungan
SMP sudah mulai ada hawa kompetisi melihat banyaknya siswa dari SD-SD lain.
Ujang semakin giat belajar dan berlatih. Ia belajar materi-materi yang
teman-temannya belum mempelajarinnya secara otodidak. Ia tekun menerjemahkan
buku berbahasa Inggris dengan bantuan kamus lusuhnya, dan hal itu membuat
kemampuan linguistiknya bertambah. Dan hasilnya pun sangat menggembirakan. Ia
mendapatkan peringkat pertama pararel. Hal ini terjadi setiap semester. Ia juga
sering menjadi perwakilan sekolahna untuk mengikuti berbagai macam lomba seperti
olimpiade sains, lomba pidato bahasa Inggris, dan lainnya. Ia tak hanya menjadi
perwakilan sekolahnya, namun ia juga mewakili daerahnya untuk lomba di tingkat
nasional, seperti menjadi perwakilan untuk debat bahasa Inggris se Indonesia.
Masa-masa emasnya pun ia torehkan tatkala ia menjadi perwakilan Indonesia untuk
mengikuti ajang bergengsi didunia, Ialah Olimpiade Sains Internasional pada
bidang Astronomi yang diselenggarakan di
Ukraina dan menyabet medali emas. Tak henti-hentinya ia bersyukur kepada Yang Maha
Memberi Ilmu. Ia sempat tak percaya akan apa yang telah diraihnya. Ia dapat
menunjukan kepada keluarga dan masyarakatnya bahwa ia adalah orang yang bisa
bersaing. Ia tak malu lagi tatkala ia berjalan di desanya. Ia tak malu lagi di
cemooh. Orang-orang yang mencemoohnya di masa lalu sering tertunduk malu
tatkala ia bertatap muka dengan Ujang. Tampak ada raut kekesalan pada wajah
mereka atas cemoohannya dulu dan telah membangga-banggakan anaknya yang
prestasinya hanya sampai di podium kenaikan kelas dan sangat jauh sekali bila
dibandingkan apa yang telah dicapai oleh Ujang. Namun begitu, ujang tak lantas menjadi
besar kepala. Ia tetap bersosial dengan warga lainnya dan tetap bermain di
sawah sebagai tempat favoritnya bermain.
Dari hasil juangnya di Ukraina, ia mengenali
berbagai manusia dari seluruh penjuru dunia. Kefasihannya dalam berbahasa
Inggris membuatnya mampu berteman dengan anak-anak lainnya dari berbagai
negara. Ia mulai tertarik dengan bahasa-bahasa teman-temannya. Setelah
kepulangannya ke Indonesia, ia mulai mempelajari berbagai bahasa asing dengan
bantuan kamus buku-buku tata bahasa yang ia beli dan sebuah cermin
untuk berlatih berbicara. Meskipun ia tidak seperti penutur aslinya, namun ia
tampak fasih dalam percakapan sehari-hari. Seiring dengan keemajuan teknologi,
ia memanfaatkannya sebagai media untuk terhubung dan berkomunikasi dengan
teman-teman asingnya. Hingga tulisan ini dibuat, ia sudah hampir menguasai 8
bahasa asing.
Cita-citanya adalah menjadi duta perdamaian
dunia. Ia sadar akan lingkungan dunia yang berubah setiap detiknya. Berbagai
macam isu yang membuat dunia kacau, membuat hatinya tergerak untuk menyuarakan
perdamaian. Oleh karena itu, ia masuk Jurusan pendidikan Bahasa Inggris
disebuah kampus pendidikan yang cukup bergengsi didaerah Bandung karena ia tahu bahwa dalam jurusan tersebut
akan dipelajari materi “Intercultural Communication”, yang mana materi ini akan
sangat berguna untuk karirnya kelak. Ia sekarang masih duduk di semester 2
Pendidikan Bahasa Inggris. Sifat kompetitifnya masih melekat dalam dirinya dan
masih terbawa sampai sekarang sehingga atas karunia Tuhan Yang Maha Esa ia
mendapatkan indeks prestasi yang sangat sangat memuaskan pada semester lalu.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin
diceritakan dari seorang Ujang . Namun ruang dan keterbatasan waktulah yang
membuat cerita ini berakhir. Sebagai
penutup, ia menyampaikan kutipan seperti yang tertera dibawah ini.
“Anda, saya, dan kita
semua adalah sama adanya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Yang berbeda adalah cara
kita menjalani versi kehidupan kita masing-masing. Tua itu pasti, dewasa itu
pilihan. Semua orang didunia ini tidak mampu melakukan hal yang sempurna, tapi
setiap orang diberikan kesempatan untuk melakukan hal yang terbaik, dan hal
yang terbaik dimulai dari diri kita sendiri.”
Siapakah Ujang sebenarnya?